AJAIB, DUA BELAS PASANG IGA PATAH DAPAT BERTAUT KEMBALIAJAIB, DUA BELAS PASANG IGA PATAH DAPAT BERTAUT KEMBALI(Lanjutan)
Hari terus bergulir. Setiap kali dokter jaga datang, saya selalu menanyakan kondisi suami saya. Jawaban dokter selalu sama, “Tetap saja, belum juga membaik.” Suatu kali saat saya mengajukan pertanyaan yang sama, jawaban dokter demikian, “Tunggu besok ya. Kalau besok tidak panas berarti mendingan, tapi kalau panas itu artinya berbahaya.” Esoknya suhu badan suami saya benar-benar panas hingga 40 derajat. Suster di belakang saya saling berbisik, “Wah, tidak mungkin hidup.” Tapi suami saya dapat melewati masa kritis itu dan panas itu akhirnya turun. Saya terus berdoa. Mata saya benar-benar hanya tertuju pada Tuhan Yesus.
Hari keenam, pukul 09.00 WIB, keadaan suami saya kritis lagi. Suami saya pingsan. Untuk menyadarkannya ia harus ditepuk-tepuk bergantian oleh para suster. Saya segera dipanggil oleh dokter. Katanya, “Keadaan Bapak …” Namun, sebelum dokter itu meneruskan kata-katanya, saya langsung memotongnya, “Entahlah Dok, saya tidak mau mendengarkan apa yang Dokter katakan. Jika Dokter ingin mengatakan sesuatu, katakan saja pada pendeta saya.” Dokter itu diam dan saya segera keluar menelepon pak pendeta. Saat itu saya sendirian. Pekerja Gereja yang setiap malam menemani saya, pagi itu sudah pulang. Setelah menunggu agak lama, pak pendeta akhirnya datang. Saya tetap di luar karena takut. Ketika pendeta masuk, ia mendapati pengukur detak jantung suami saya sempat lurus. Namun, 2 jam kemudian bergerak lagi dan kembali pada posisi semula. Kira-kira pukul 11.00 WIB, karena desakan pak pendeta, saya pun mau masuk ke kamar rawat suami saya. “Ko, ko, ko,” begitu saya memanggil suami dan ia menyahut. Karena sudah sadar, saya sudah tidak takut lagi. Sekali lagi ia selamat.
Cahaya terang masuk ke kamar ICU
Malam hari, setelah peristiwa yang menegangkan itu, anak saya yang pertama Michael, datang bersama 2 orang temannya. Mereka bukan orang Kristen. Kami di tempat itu berenam. Michael dengan dua orang temannya, saya, seorang pekerja Gereja, dan seorang teman saya. Kira-kira pukul 22.00 WIB kami berdoa bersama di lift. Karena saya ingin menghormati teman Michael yang bukan Kristen, saya bilang, “Kita berdoa dalam hati saja, berdoa menurut kepercayaan masing-masing.” Selesai berdoa, teman Michael yang bukan Kristen mengatakan, “Michael, waktu kita berdoa, saya melihat ada cahaya terang sekali masuk ke kamar ICU.”
“Ma, Agung bilang, waktu berdoa ia melihat sinar masuk ke kamar ICU.” Kata Michael sembari menyebut nama temannya.
“Lho, kamu sedang menutup mata, bagaimana bisa lihat ?” tanya saya.
“Ya, waktu menutup mata itulah saya melihatnya,” jawab Agung mantap.
“Saat melihat cahaya itu, apa yang kamu rasakan ?” pertanyaan ini saya ajukan sebab di kamar ICU memang sering terjadi peristiwa aneh-aneh. Saya khawatir cahaya itu bukan dari Tuhan tapi dari setan.
“Perasaan saya damai,” jawab Agung. Mendengar cerita dan jawaban Agung, saya langsung mengimani bahwa Tuhan sedang melawat suami saya. Melihat buahnya, saya yakin sinar itu merupakan manifestasi Roh Kudus. Saya percaya, kalau ada lawatan Allah, pasti sesuatu akan terjadi. Dari kesaksian Agung itu, iman saya kembali dibangkitkan, saya yakin suami saya pasti sembuh. “Terimakasih Tuhan,” ujar saya penuh syukur.
Hari berikutnya, saya bertanya pada dokter ahli paru-paru dan mendapat jawaban yang menggembirakan, “sudah ada sedikit perbaikan.” “Terimakasih dokter, puji Tuhan !” ujar saya spontan, pokoknya saya terus imani dari hal yang kecil pasti terjadi hal yang besar. “Jangan berterimasih pada saya, berterimakasihlah pada Tuhan,” jawab dokter itu. Tadinya saya tidak tahu, ternyata dokter itu memang saudara seiman. Keadaan ini terus membaik.
Setelah dirawat di ICU selama 5 minggu, suami saya dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Keadaan di ICU sungguh berkesan. Kehadiran saya paling tidak telah membuat orang-orang yang tegang sedikit merasa terhibur. Saya percaya ketika kita menyembah Tuhan lewat nyanyian, hadirat Allah ada di ruangan itu. Hal inilah yang mungkin membuat suasana di ICU menjadi hidup dan lebih nyaman. Sampai-sampai kalau saya tidak bernyanyi, saudara yang tidak seiman pun bahkan sering bilang, “Ayo nyanyi dong. Kalau kamu tidak nyanyi, sepi lho !” Ada juga yang mengatakan, “Suaramu merdu lho.” Wah heran juga saya, sebab seumur-umur baru kali ini suara saya dipuji.
Di ruang perawatan biasa, suami saya cepat pulih. Di ruang ini, suami hanya di rawat selama 2 minggu dan herannya setelah di rontgen, tulang-tulang rusaknya yang patah, dinyatakan telah tersambung kembali ! Tanggal 30 Desember 1999, suami saya keluar dari rumah sakit. Waktu pulang, suami saya sudah normal. Ia sudah dapat berjalan dan tidak memakai alat bantu apa pun. Ia juga tidak pantang makan. Tanggal 31 Desember 1999, suami saya sudah ke Gereja. Akhir 1999 sungguh menjadi saat yang manis bagi keluarga kami, sebab tidak saja pada tahun itu suami saya mengalami mujizat dan kesembuhan, tetapi kerinduan saya dan anak-anak untuk pergi ke Gereja bersama ayahnya sudah di jawab Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar