Idaho. Kisah ini terjadi bertahun-tahun lampau di sebuah kota kecil di negara bagian Idaho, AS. Seorang ibu yang hendak berbelanja di sebuah toko bahan makanan (grocery) terdekat memperhatikan seorang anak laki-laki yang tampaknya sudah menjadi pelanggan toko itu, tapi dia bukan seorang pembeli yang lazim. Perawakannya kurus, di bajunya terdapat beberapa tambalan meski tampak bersih. Umurnya kira-kira 10 atau 11 tahun. Ketika sedang memilih kentang dia sempat menguping pembicaraan anak ini dengan Jim Miller, pemilik toko.
"Halo Barry, apa kabar hari ini?"
"Halo, pak Miller. Saya baik-baik saja, terimakasih. Saya suka dengan kacang polong yang segar ini, kelihatannya bagus-bagus," ujar Barry.
"Iya, memang itu baru datang. Bagaimana keadaan ibumu?"
"Baik, pak. Sudah semakin sehat sekarang."
"Baguslah. Sekarang, apa yang dapat saya bantu?" tanya pak Miller lagi.
"Tidak, pak. Saya cuma senang saja melihat sayur kacang polong yang hijau segar ini."
"Kamu mau bawa pulang ke rumah?"
"Tidak, pak. Saya tidak punya uang untuk membelinya."
"Well, apa yang kamu punya untuk dibarter dengan kacang polong itu?"
"Saya hanya punya kelereng."
"Coba saya lihat kelerengnya."
Barry mengeluarkan kelerengnya dari dalam saku bajunya. "Ini bagus, mengkilap."
"Benar, kelerengnya bagus. Sayang warna matanya biru, padahal saya suka yang berwarna merah," tukas pak Miller. "Apa di rumah kamu ada kelereng bermata merah yang bagus seperti ini?"
"Tidak terlalu merah, tapi agak merah."
"Begini saja, kamu boleh ambil seberapa banyak kacang polong yang kamu inginkan, nanti lain kali kamu datang membawa kelereng yang warna matanya merah."
"Tentu saja. Terimakasih, pak."
Pada saat itu ibu Miller keluar hendak melayani penulis kisah ini. Dengan wajah tersenyum ibu Miller berkata, "Ada dua anak lagi seperti dia yang tinggal di daerah ini. Mereka adalah anak-anak dari keluarga-keluarga yang sangat miskin. Jim suka memberi mereka bauh pir, apel, tomat, atau sayuran apa saja yang ditukar dengan kelereng."
"Nanti, waktu mereka datang membawa kelereng bermata merah, Jim akan mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak terlalu berminat dengan warna merah, tapi warna hijau. Tapi dia selalu akan memberikan bahan makanan yang mereka inginkan, dengan janji akan ditukar dengan kelereng bermata hijau. Tapi nanti, kalau mereka datang membawa kelereng berwarna hijau, Jim akan mengatakan bahwa dia sudah berubah pikiran, sekarang yang dia inginkan adalah warna oranye. Tapi anak-anak itu tidak pernah pulang dengan tangan hampa, selalu Jim akan memberikan apa yang mereka perlukan. Selalu begitu."
Beberapa waktu kemudian penulis kisah ini pindah ke negara bagian Colorado. Namun, pengalaman ini tidak pernah terlupakan. Dia selalu membayangkan bagaimana ketiga anak pra-remaja itu yang selalu berbelanja ke toko Jim dengan berbarter kelereng.
Tahun berlalu dan semua berubah dengan cepat. Belum lama berselang penulis kisah ini berkunjung kembali ke Idaho untuk menemui sanak famili di kota kecil di mana dia bermukim dulu. Setiba di sana dia mendengar kabar bahwa Jim Miller, pemilik toko bahan pangan, baru meninggal dunia dalam usia cukup lanjut. Mereka datang melayat pada acara memorial service petang hari besoknya.
Banyak pelayat yang hadir, umumnya adalah warga sekitar. Tetapi ada pelayat yang penampilannya agak berbeda di antara para pelayat, yaitu tiga pemuda yang berseragam kadet akademi militer. Dua dari mereka berseragam warna pekat, sedangkan yang seorang berseragam warna putih bersih, lengkap dengan topi kebesaran masing-masing. Saat para pelayat berbaris hendak menyalami ibu Miller yang duduk tak jauh dari peti jenazah, ketiga pemuda tegap ini berada di deretan depan.
Ketika berhadapan dengan ibu Miller, masing-masing pemuda itu membuka topi mereka, menyembulkan rambut yang dipangkas model cepak. Satu-persatu ketiga membungkuk, memeluk ibu Miller, mencium pipinya, berbicara sejenak, kemudian beranjak ke peti jenazah. Langkah mereka diikuti dengan ekor mata ibu Miller. Ketiga pemuda itu berbaris di depan peti jenazah dan satu-persatu membungkuk lalu menggenggam tangan pak Miller yang telah dingin dan kaku. Setelah itu merekapun mengenakan kembali topi mereka dan serempak memberi hormat secara militer. Para pelayat seakan menunggu sejenak untuk memberi kesempatan kepada ketiga pemuda itu melakukan ritual yang langka tersebut. Semua yang hadir memperhatikan ketiganya saat mereka keluar ruangan sambil menyeka mata mereka dengan saputangan.
Setelah berhadapan dengan ibu Miller, penulis memperkenalkan diri. Maklum, sudah bertahun-tahun berpisah. Setelah mengetahui siapa tamunya, ibu Miller langsung berdiri dan menggengam tangan penulis lalu menuntun ke peti jenazah.
"Ketiga pemuda tadi adalah anak-anak yang pernah saya ceritakan kepada anda dulu. Mereka tadi mengatakan kepada saya betapa mereka tidak akan bisa melupakan apa yang dilakukan Jim kepada mereka ketika mereka masih kanak-kanak dulu," tutur ibu Miller. "Sekarang, ketika Jim tidak bisa lagi berubah pikiran soal warna kelereng itu, mereka datang untuk membayar hutang mereka itu."
Lalu, dengan mata berkaca-kaca ibu Miller mengangkat jemari suaminya yang dingin dan kaku. Di baliknya terdapat tiga kelereng bermata merah yang bening dan mengkilap!
(Sumber: Istimewa)
(Artikel ini di kirim oleh : Ibu Lisa Fransisca )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar