Ketika saya masih bekerja di Jakarta, banyak hal yang Tuhan izinkan terjadi kepada saya. Awal-awal mengalami dera derita yang diberikan-Nya, saya sempat mengeluh berkali-kali, "Kenapa sih Tuhan kok tega melakukan hal itu kepadaku?" Kini setelah lewat tiga tahun berlalu, saya baru mengerti maksud Tuhan mengizinkan cobaan itu terjadi. Ia menjadikannya agar iman saya semakin dikuatkan di dalam Dia.
Bekerja di Jakarta adalah impian saya sejak dulu. Perusahaan pertama tempat saya bekerja selulus dari bangku kuliah, sama persis dengan bidang keahlian yang saya pelajari selama belajar di Surabaya. Untuk masuk ke sana, jalan saya dibuat sangat mudah oleh Tuhan. Saya lolos tes di perusahaan kapal fiberglass dari sekitar 100 orang yang mendaftar tanpa ada kesulitan apapun.
Mulanya saya gembira bekerja di perusahaan itu. Tetapi lama-kelamaan, kejenuhan mulai datang menyerang. Sisi kerohanian saya serasa mati perlahan-lahan selama hidup di kota Jakarta. Banyak sebab yang mempengaruhinya. Pimpinan saya waktu itu termasuk orang yang mudah naik darah dan jika Beliau marah maka tidak segan-segan mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak membawa berkat di telinga. Jam kerja saya juga bisa sampai 12 jam sehari non stops saat ada kegiatan 'sea trial' kapal baru tanpa imbalan bonus yang berarti. Ditambah lagi, terkadang ada perintah langsung dari pimpinan yang mengharuskan saya menandatangani design bangunan kapal yang saya sendiri belum yakin 100% bahwa itu sudah teruji kebenarannya.
Rentetan kejadian-kejadian itu seperti bom yg perlahan-lahan tersulut di dalam diri saya. Disatu pihak saya ingin menentang semua itu, namun di satu sisi lainnya saya tidak bisa berbuat banyak karena ada tekanan dari pimpinan. Segala hal yang menyakitkan hanya saya pendam sendiri, karena di Jakarta saya sama sekali tidak mempunyai teman akrab yang bisa menguatkan saya dijalan Tuhan. Saya masih tetap ke gereja setiap hari Minggu, namun semua tampak kosong. Saya benar-benar kehilangan sosok Kristus yang pernah saya kenal dekat semasa kuliah di Surabaya dulu.
Lambat laun, tubuh saya yang tidak kuat menahan semua 'racun' yang masuk itu. Belum lagi saya harus berinteraksi dengan lingkungan didaerah Jakarta Utara yang kotor dan bahan-bahan fiberglass yang memang bisa merusak tubuh perlahan-lahan. Setelah bekerja kurang lebih setahun di perusahaan, kondisi fisik saya mulai drop. Saya mulai terkena sakit batuk-batuk yang tak kunjung sembuh selama lebih dari tiga bulan, sampai akhirnya saya divonis dokter terkena TBC - Tubercolocis. Selama sembilan hari saya harus dirawat di rumah sakit dan harus minum obat anti TBC sepuluh butir sehari. Saat itu saya benar-benar down. Bukan hanya fisik tetapi rohani saya juga turut ambruk.
Berat badan saya turun drastis sampai hanya 38 kilogram. Dibandingkan dengan tinggi badan saya yang mencapai 165 cm, keadaan saya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Bila saya berdiri atau berjalan, kepala saya terasa sangat pusing. Saya juga terkena komplikasi penyakit darah rendah akut. Semua makanan yang masuk ke mulut selalu saya muntahkan. Hanya infus yang bisa memberi kekuatan untuk perut saya tetap kenyang. Seluruh keluarga saya mulai cemas. Tidak jarang mereka menangis di depan saya ketika melihat saya yang sudah setengah sekarat di atas tempat tidur tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti kecuali membuka mata. Saat itu saya berdoa kepada Tuhan: "Tuhan, jika ini adalah saat terakhir hidupku di dunia ini, aku tidak menyesal. "Jika Engkau mau cabut nyawaku, sekarang aku siap ke Surga." Saya sudah berserah total!
Yang lebih parah dari hari-hari saya di rumah sakit adalah saat di mana tiba-tiba liver saya membengkak karena tidak ada makanan yang mau masuk ke tubuh selain infus. Saya harus menjalani USG dan diambil darah sebanyak 100cc tiga kali sehari. Untuk ukuran tubuh saya yang saat itu cukup lemah, hal itu semakin membuat saya menderita. Rasanya seluruh tubuh saya sakit semua. Belum lagi obat-obatan yang saya konsumsipun harus ditambah satu lagi, yakni untuk pereda liver yang bengkak. Ternyata Tuhan Yesus masih menghendaki saya hidup. Saat itu ada teman seiman dari kantor saya yang datang menjenguk dan membacakan Mazmur 91. Mendengar teman saya membacakan ayat-ayat dari pasal itu, saya menangis. Hati saya seperti diketuk oleh Tuhan dan setika itu juga saya mempunyai semangat untuk hidup kembali.
Selama empat bulan berikutnya setelah keluar dari rumah sakit, saya rutin berobat jalan dan berangsur-angsur mulai sembuh. Tetapi mendadak ada kejadian baru yang lebih mengejutkan lagi. Ketika saya menyampaikan keluhan mengenai sakit di punggung saya kepada dokter yang menangani penyakit saya dari perusahaan, Beliau menyarankan saya untuk rongent ulang, bukan di paru-paru lagi tetapi di tulang punggung. Dari hasil rongent baru ini, dokter mengambil kesimpulan bahwa ternyata TBC yang saya derita selama ini bukan TBC biasa. Virus TBC tidak hanya ada di paru-paru saya tetapi sudah menyerang sumsum tulang belakang saya. Tepatnya di daerah Lumbal 1 saya, ada dua ruas tulang yang remuk dan sedang membentuk benjolan baru sebagai hasil leburannya.
Awalnya tubuh saya terasa sakit jika dipakai untuk bergerak, tidur menjadi tidak nyenyak, dan saat jalanpun menjadi goyang rasanya. Kata dokter, itu disebabkan karena saraf-saraf yang ada disekeliling dua ruas tulang itu ikut meradang. Vonis terakhir dari dokter ini membuat saya semakin syok. Dokter mengatakan, jika seandainya saya mengalami patah tulang belakang, maka kaki saya akan lumpuh seumur hidup. "Tuhannnnnn...," saya hanya bisa menjerit di dalam hati menghadapi vonis terbaru dari penyakit saya itu. Beberapa bulan berikutnya, obat-obatan sayapun ditambah lagi jumlahnya. Obat-obatan itu semakin membuat saya seperti dicabik-cabik, sakit!
bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar