Ketika Yalina berusia sekitar 4-4,5 tahun dan sedang bermain-main di sekitar rumah dengan adik-adiknya, Om yang sering datang ke rumahnya membawa dirinya ke sebuah toilet atau gudang lalu menyuruhnya untuk melakukan oral seks.
"Setiap kali saya mengingat peristiwa itu, yang ingin saya lakukan kalau saya sampai ketemu dengan orang itu, kemungkinan terburuknya saya bisa membunuh dia tapi yang paling ingin saya lakukan adalah memotong kemaluannya. Karena itu yang dia pakai untuk merusak hidup saya, melecehkan hidup saya, menghancurkan hidup saya," ujar Yalina membuka kesaksiannya.
Lembar kehidupan Yalina telah tercoreng oleh omnya sendiri. Bahkan tidak lama setelah peristiwa itu, orangtuanya bercerai dan menambah goresan luka dalam hatinya. Berat bagi Yalina untuk berpisah dari ibunya. Kesedihan yang mendalam dan ingatan akan mamanya membuat Yalina terserang demam selama tiga hari tiga malam. Beberapa hari kemudian, sang ayah memperkenalkan seorang wanita kepada dirinya.
"Papa memperkenalkan dia ke saya sebagai calon ibu tiri saya. Orangnya cukup baik, bahkan lebih baik. Cara dia memperlakukan kami sebagai anak jauh lebih baik dari cara mama memperlakukan kami. Seakan-akan dia itu gambaran ibu idaman bagi saya," ujar Yalina.
Namun harapan Yalina pupus sudah. Wanita yang sejatinya akan menjadi ibu tirinya itu didapati berselingkuh oleh ayahnya.
"Saya dengan adik saya akhirnya tinggal di bar tanpa asuhan seorang ibu. Ruangan bar itu kalau malam aktivitasnya seperti bar-bar pada umumnya. Tamu-tamunya kebanyakan para pria yang datang untuk membooking para wanita yang bekerja di barnya papa. Mereka berdansa, berpelukan, duduk-duduk, berciuman, ngobrol, ketawa-ketawa, dan saya melihat semua hal itu dengan mata kepala saya sendiri," kisah Yalina mengenang masa kecilnya.
Lembaran hidup seorang bocah terus ternoda dengan sikap ayah yang tidak senonoh di depan anaknya. Ia melihat bagaimana ayahnya memangku para wanita malam itu, berpelukan dengan mereka dan bercanda dengan mesra. Seiring waktu, pengertian Yalina akan setiap kejadian yang terjadinya di sekitarnya semakin bertambah. Dan Yalina mulai merasa kepahitan dengan ayahnya karena ia merasa ayahnya tidak memberikan contoh yang baik.
Hari demi hari, pemandangan tidak senonoh terus dilihat oleh Yalina. Sampai suatu ketika, Yalina dibawa kabur oleh bibinya ke Surabaya. Malang nasib Yalina, bukan kasih sayang yang diterimanya namun penderitaan yang ia dapatkan. Perlakuan kasar sering diterimanya dan tak jarang bekas cubitan merajai tubuhnya yang masih belia. Bukan hanya perlakuan kasar yang diterima Yalina, perkataan kotor pun dilontarkan kepadanya.
"Bibi suka mengatai saya dengan sebutan ‘balon'. Balon itu orang Jawa bilang pelacur. Ketika saya ngambek dan menangis, saya dipukuli oleh bibi, diseret-seret sampai satu kampung itu heboh. Dan saya dipukulin seperti orang disiksa waktu itu," kisah Yalina dengan pedih.
Salah seorang warga kampung yang berempati dengan nasib Yalina menawarkan dirinya untuk merawat Yalina. Dua tahun lamanya Yalina hidup bersama dengan keluarga itu sampai akhirnya Yalina dijemput oleh ayahnya. Namun bukan sukacita yang dirasakan oleh Yalina ketika ia kembali bertemu dengan ayahnya. Ia begitu ketakutan seperti melihat seorang raksasa yang datang dan mengaku sebagai ayahnya serta ingin membawanya pergi. Saking takutnya, Yalina lari dan menyembunyikan dirinya di kolong tempat tidur.
Yalina menolak untuk ikut ayahnya. Namun karena bujuk rayu kedua orangtua yang mengasuhnya, akhirnya Yalina pun luluh. Yalina dibawa ke Surabaya dan bertemu dengan seorang wanita yang dulu akan menjadi ibu tirinya. Mereka pun menginap di sebuah hotel. Namun sebuah kejadian traumatis lainnya telah menanti Yalina malam itu.
"Tengah malam saya terbangun kaget karena mendengar suara orang. Dan ketika saya bangun, saya menyaksikan papa dan wanita itu sedang melakukan hubungan suami isteri. Papa kaget waktu melihat saya terbangun dan menyaksikan perbuatan mereka, lalu saya dilempar dengan bantal," kisah Yalina dengan hati miris.
Tanpa rasa malu, sang ayah meneruskan perilaku bejatnya dan ternyata pemandangan itu bukanlah pemandangan terakhir yang disaksikan oleh Yalina. Mereka pun tiba di Papua, di tempat tinggal mereka yang baru.
"Papa membeli tanah dan ia membuka usaha pelacuran. Papa membawa saya dari Surabaya hanya untuk tinggal di tempat itu," ujar Yalina.
Bisnis prostitusi yang dijalani ayah Yalina tidak berjalan dengan lancar akibat hubungan ayahnya dengan seorang janda yang menguras habis semua harta kekayaannya. Yalina pun kembali dibawa pindah oleh ayahnya. Namun karena ayahnya harus mengelola usaha beras di Darmo, Yalina terpisah selama tiga bulan dengan ayahnya karena ia harus tinggal dengan saudaranya di Trenggalek. Kerinduan Yalina akan sosok ayah yang baru dikenalnya, membuatnya nekat untuk pergi dan mencari ayahnya seorang diri.
"Bagaimanapun caranya, saya harus ketemu papa. Mau jalan kaki, mau nyasar, pokoknya saya harus ketemu papa. Akhirnya saya benar-benar bisa ketemu papa. Papa sampai kaget waktu melihat saya bisa sampai ke tempat ia bekerja," kisah Yalina.
Di luar dugaan Yalina, pertemuan dengan ayahnya ternyata adalah sebuah petaka. Ayah Yalina menanyakan kondisi pertumbuhannya sebagai seorang wanita, apakah sudah mendapat haid dan apakah Yalina sudah mengerti bagaimana mengatasi kondisi haid. Sebagai seorang anak perempuan yang tidak pernah tumbuh dalam asuhan seorang ibu, belum pernah ada yang mengajari Yalina soal haid.
Dalam kepolosannya, Yalina menuruti permintaan ayahnya untuk melucuti celananya dengan dalih akan diperiksa. Berawal dengan memeriksa alat vitalnya, seluruh bagian tubuh Yalina pun ‘diperiksa' oleh ayahnya.
"Saya melihat paras mukanya, bagaimana matanya melotot sambil melihat saya. Waktu itu saya merasa aneh, tapi sekarang setelah saya dewasa, kalau saya mengingat bagaimana cara papa memeriksa alat genital saya, jujur saya merasa miris banget," ujar Yalina.
Ayah yang seharusnya menjadi pelindung, ternyata malah mengobrak-abrik hidup anaknya sendiri.
"Saya mulai merasa pahit terhadap papa saya. Saya marah terhadap dia. Kenapa hal seperti ini harus terjadi di antara papa dan saya. Saya merasa papa sudah merusak saya," kisah Yalina.
Yalina memutuskan lari dari rumah. Yalina terus berjalan tanpa henti dari pagi buta sampai matahari terbenam. Dan sepanjang perjalanan itu, Yalina sama sekali tidak memegang uang sehingga ia pun meminum air kali sekedar untuk memuaskan dahaganya. Perjalanan panjang Yalina akhirnya berujung di sebuah pemakaman Cina. Yalina bagaikan manusia yang tak bernyawa dan tanpa harapan. Di situlah awal mulanya Yalina mulai hidup luntang-lantung di Surabaya. Yalina tidak menyadari jika kuburan Cina itu adalah tempat lokalisasi pelacuran. Dan di saat yang terjepit, demi perut yang kosong, Yalina menerima tawaran seorang pria.
"Dia mau kasih uang, yah sudah saya ikut. Yang saya ingat hanya uangnya," ujar Yalina.
Tidak pernah terbayangkan oleh Yalina, dalam usia 16 tahun ia harus menjual dirinya demi uang yang hanya senilai Rp. 1.500,-. Tidak tahan dengan kehidupan yang sangat keras di Surabaya, Yalina memutuskan pergi ke jakarta.
"Hanya ada satu tempat yang saya tahu di Jakarta, yaitu Monas. Ketika saya sampai di sana, saya awalnya tidak tahu, tapi akhirnya saya tahu bahwa ternyata di Monas itu tempat lokalisasi pelacuran juga. Saya belum tahu apa artinya melacur. Yang saya tahu, kegiatan itu bisa menghasilkan uang."
Demi kelangsungan hidupnya, Yalina menjalani profesi sebagai wanita penghibur selama beberapa bulan. Sampai akhirnya ia mendapat pekerjaan di sebuah tempat billyard sebagai seorang wasit. Pergaulannya di tempat billyard itu membawa Yalina mulai mengenal diskotik. Gemerlapnya Jakarta telah membius Yalina. Pengalaman demi pengalaman dialaminya, bahkan barang haram narkoba pun telah menjadi bagian hidupnya.
"Akhirnya saya mengenal narkoba. Dan bukan hanya mengenal narkoba, tapi juga mengenal dunia pelacuran pada tingkat yang lebih tinggi levelnya, lebih terorganisir."
Perilaku Yalina semakin gila. Apa pun dilakukannya demi mendapatkan narkoba.
"Saya mulai melakukan hal-hal yang memang tidak normal. Contohnya misalnya barter, menukar tubuh saya dengan narkoba. Pemakaian narkoba itu sudah membawa saya kepada tingkat penyiksaan, tidak hanya secara fisik tapi juga secara jiwa. Saya mulai mengamuk pada orang tak dikenal, saya caci maki, saya berdiri di pinggir-pinggir jalan, saya tunjuk semua orang dan mengoceh tidak karuan. Saya benar-benar sudah habis-habisan, tidak punya apa-apa dan tidak punya siapa-siapa, sudah tidak ada teman yang mau berteman dengan saya. Kondisi ini yang membuat saya merasa tersiksa. Saya tidak tahu mau menjerit sama siapa."
Yalina berada di ujung keputusasaan. Namun entah kenapa, Yalina teringat peristiwa manis di masa kecilnya.
"Saya sempat mengenal yang namanya Yesus, tapi hanya sekedar tahu namanya saja. Entah bagaimana, entah ide dari mana, entah dorongan dari mana, waktu saya dalam kondisi yang sangat sulit itu, saya seperti mendapat dorongan untuk berseru kepada Yesus," ujar Yalina.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar