“Aduh…. Mira, kamu ini benar-benar nakal sekali… Coba kamu lihat dapur yang baru mama bersihkan jadi sangat kotor sekali….. Coba ini lihat…., susu berceceran dimeja dan lantai, gelas pecah, air berserakan di lantai… “ omel Santi pada Mira, putri kecilnya yang berusia enam tahun.
“Tapi mama……, Mira….” sahut Mira dengan wajah tertunduk ketakutan, tubuh kecilnya bergetar, jari jemarinya dengan gelisah meremas-remas ujung bajunya. Wajah mungilnya nampak terluka. Mira berusaha menahan titik air mata yang sudah siap berhamburan. ‘Oh… aku tak boleh menangis, mama pasti akan lebih marah…. Karena mama tak suka anak cengeng… dan aku bukan anak cengeng’
“Mama kan sudah bilang, kalau mau membuat susu, bilang mama… atau bik Minah, biar mama atau bik Minah yang membuatnya. Coba lihat sekarang, semua jadi kotor dan berantakan…” omel Santi berkepanjangan, tanpa mau mendengar penjelasan gadis kecilnya. “Sana kamu masuk kamar…. !” sambung Santi lagi dengan kesal.
Uh…. Tubuhnya masih terasa penat sepulang kerja, dan ia baru saja menyiapkan untuk makan malam keluarga. Dirinya, suaminya Hendra yang sebentar lagi pulang kerja dan putri kecil mereka Mira.
Inilah risiko seorang isteri dan mama yang bekerja untuk menopang kehidupan rumah tangga keluarga. Pulang kerja harus larut pula dalam kesibukan dapur. Memang sih ada bik Minah, tapi untuk urusan makan malam,
Santi selalu berusaha untuk menyiapkan sendiri makan malam keluarga mereka. Dan insiden kecil, gelas pecah dengan susu dan air yang bertebaran dimeja dan lantai…. Membuat suasana hatinya jadi kesal…
Ada rasa bersalah juga sewaktu melihat putri kecilnya yang dengan langkah pelanberingsut pergi ke kamarnya, dan dia semakin merasa salah karena tak memberi kesempatan pada Mira untuk memberikan alasan. Namun kemudian Santi berusaha menghilangkan rasa bersalahnya itu dengan menyibukkan diri menyiapkan makan malam di meja makan, dan minta bik Minah membersihkan dapur.
Hendra tak lama kemudian pulang dari tempat kerjanya. Setelah mandi dan mereka siap di meja makan untuk menikmati makan malam. Hendra baru menyadari kalau ada sesuatu yang hilang dari kebersamaan mereka.
“Mana Mira putri papa yang cantik….? Dari tadi papa tak ada melihatnya….?” Tanya Hendra pada Santi.
“Ya… ampun, tentu Mira masih dikamarnya….” Sahut Santi dengan kaget. Kemudian dengan singkat Santi menjelaskan pada Hendra bahwa tadi ia memarahi Mira karena membuat sedikit kekacauan di dapur.
“Tunggu ya pa…., biar mama susul dulu Mira… Tentu dia masih takut dan sedih…” sahut Santi sambil beranjak menuju ke kamar Mira.
“Mira sayang…. Ini mama nak….” Panggil Santi pelan sambil mengetuk pintu kamar Mira dan kemudian beranjak masuk kamar putrinya.
Mira nampak duduk di atas tempat tidurnya sambil memeluk kedua lututnya. Wajahnya muram dan air matanya berlinangan. Tubuh kecilnya nampak begitu rapuh dan bergetar karena menahan tangis yang siap meledak.
Hati Santi pilu melihat keadaan putrinya itu, dan rasa salah yang sejak tadi telah tersimpan dihatinya semakin menderanya. Dengan mengulurkan kedua tangannya Santi berkata, “oh… Mira anakku, sini sayangku… peluk mama….”. Santi tak kuat menahan jatuhnya air mata ketika memeluk tubuh kecil putrinya, begitu lembut…., halus… dan harum….
Mira juga memeluk tubuh Santi, dan air mata bercucuran di mata bulat indahnya. Santi menghapus lembut air mata putrinya, dan merapikan poni Mira dan rambut Mira dengan kedua tangannya.
“Mama…, tadi Mira ingin membuatkan susu untuk mama dan papa….. Mira tahu mama dan papa pasti capek setelah bekerja. Karena bila papa mama minum susu yang Mira buat, pasti capek mama dan papa akan hilang. Tapi…. Gelasnya jatuh waktu Mira mengisinya dengan air panas… jadi…. dapurnya jadi kotor deh…” Kata Mira sambil menatap mamanya dengan wajah memelas.
Santi merasa tubuhnya membeku mendengar penjelasan putrinya. Ada perasaan sakit menyelinap dihatinya, bukan hanya perasaan bersalah karena marah dan tak memberi kesempatan putrinya membela diri tadi, tapi lebih dari itu….
Sakit dan tertekan didadanya karena telah berprasangka buruk, padahal putrinya Mira telah bermaksud baik untuk menyenangkannya dan Hendra suaminya.
Santi semakin mendekap erat tubuh Mira, dan dengan kasih sayang menciumi wajah putrinya.
“Mama…, maafkan Mira ya… Mira janji lain kali kalau membuat susu untuk mama dan papa akan berhati-hati biar gelasnya tidak pecah dan dapurnya tidak kotor lagi….” Kata Mira memohon sambil menatap wajah Santi dengan harap cemas.
“Oh… sayangku, mama maafkan….. mama maafkan…..” sahut Santi sambil menciumi wajah mungil putrinya. Sungguh…., dia tak perduli mau berapa banyak gelas yang pecah karena upaya putrinya membuat susu untuknya dan Hendra, dan mau berantakan dan kotor bagaimanapun dapur karena upaya putrinya menyenangkan ia dan Hendra, Santi benar-benar tak perduli….
Yang ia tahu hanyalah ada rasa nyaman dan terharu yang menjalari keseluruhan tubuhnya yang sampai membuatnya menggigil dan ingin menjerit meluapkan sukacita dan sekaligus sedihnya….
Sedih karena ia telah berprasangka buruk pada putrinya. Dan bahagia karena untuk anak sekecil Mira, telah tertanam upaya kasih untuk membuatnya dan suaminya bahagia. ‘Oh…. Putri kecilku yang manis dan baik hati…..’
“Sayang…. Maafkan mama juga ya, karena tadi telah marah pada Mira….” Pinta Santi sambil menciumi kedua jemari putrinya.
“Mama…. Tidak perlu minta maaf pada Mira, karena memang Mira kok yang salah karena tidak hati-hati. Mama jangan menangis ya….., Mira sayang sekali pada mama dan papa….” Mira mengusap air mata Santi dengan pelan.
“Hai…. Hai…. Ada apa ini kekasih-kekasih papa malah peluk-pelukan sambil menangis….. Ayo… kita makan…., papa sudah lapar sekali nich….” Hendra tiba-tiba muncul dengan raut wajah cerah.
Dia tahu dan mendengar semua percakapan putri dan isterinya, dan itu semua membuatnya dipenuhi rasa sukacita dan bahagia. ‘Ah…. Keluarga kecilku yang selalu membuatku rindu dan ingin selalu disisi mereka. Tuhan, terimakasih untuk kebahagiaan yang Kau berikan untuk keluarga kami.’
---------
(Yakobus 1:19) Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;
Understand, my beloved brethren. Let every man be quick to, slow to speak, slow to take offense and to get angry.
LORD JESUS bless you and me, now and forever. Amen.
Depok, 30 Januari 2011 10.07 pm
Renungan Malam Lisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar